Bintik Bintik Ekslusifitas Muslim Di Bali

Dipostkan pada 2018-09-11 oleh Admin

Bali adalah pulau tujuan wisata yang pernah diisukan lebih dikenal dari Indonesia. Kemajuan perekonomian melalui pariwisata telah membuat provinsi ini sangat terkenal di masyarakat Indonesia sehingga mengundang banyak warga dari Jawa maupun daerah lain mencari penghidupan dari sistem yang dibangun dengan modal budaya yang berlandaskan Hindu Bali.

Semakin bertambah hari, pendatang Muslim di Bali bertambah tapi realita bahwa perkonomian yang mereka nikmati di Bali berlandaskan budaya Hindu Bali tidak serta merta menjadikan mereka sepenuhnya berterimakasih atau menghormati sistem yang mereka duduki. Dalam hiruk pikuk dan kenikmatan ekonomi dari pariwisata Bali, mereka membangun ekslusifitas dengan memunculkan entitas "warung muslim". Selain itu, berkembang fanatisme untuk tidak berbisnis atau berbelanja di usaha non Muslim.

Saya tidak menyadari kapan fenomena ekslusifitas ini dimulai namun peekiraan saya, ini dimulai sejak pemunculan Undang Undang Jaminan Produk Halal ( UU JPH ) yang ditunjang berkembangnya sisi radikal di masyarakat Muslim. Memang sisi radikal itu ( secara ekstrem ) telah sukses menghasilkan generasi teroris yang berkelanjutan. Tentu saya mudah memahami bahwa untuk membangun ekslusifitas atau fanatisme perekonomian, akan jauh lebih mudah pelaksanaannya.

Demikian mudah kita menjumpai "warung muslim" di seantero Bali, bahkan bisa dijumpai bergandengan seperti gerbong kereta api. Seringkali pedagangnya kedapatan menggunakan filter "kamu agama apa?" untuk melayani pembeli. Di lain pihak, penduduk Bali maupun non Muslim lainnya terua berprasangka baik dengan tanpa basa basi tetap berbelanja di usaha warga muslim walaupun jelas-jelas terpempang "warung muslim". Sungguh sangat berbeda.

Di kalangan pemilik usaha Bali, sudah lumrah terdengar bahwa ada prosentase Muslim yang bertanya "kamu agamanya apa?" sebelum mereka melanjutkan berbelanja atau bertransaksi atau batal. Ada beberapa orang ketemu akan memuntahkan dan membuang makanan yang sedang mereka makan atau minum setelah mereka tahu bahwa pemilik usaha itu non Muslim. Sebuah pola yang pasti, hanya Muslim yang ada warganya demikian.

Sepanjang cerita dan pengalaman yang kami dapat, Muslim yang berlaku demikian akan tampak sangat taat pada agamanya. Sangat jarang ada Muslim yang bertato sampai membuang makanan mereka hanya karena dibeli dari usaha non Muslim. 

Fenomena eksklusifitas Muslim ini menjadi rahasia umum yang diperbincangkan secara sembunyi-sembunyi di Bali. Entah apakah akan berhenti seiring program revolusi mental ataukan akan makin intensif dengan bertambahnya waktu. Yang jelas, fenomena ini telah memicu kejadian yang sejwnia di kelompok lain.

SB